Diantara Pendidikan Pesantren dan Pendidikan Formal
Apa
kelebihan pesantren dibandingkan lembaga pendidikan non-pesantren?
Keduanya sama-sama mengembangkan ilmu. Bahkan, lembaga pendidikan
non-pesantren fasilitasnya kadang lebih lengkap dan modern daripada
pesantren. Tapi mengapa pesantren tetap bertahan, bahkan makin
dibutuhkan oleh orang-orang terpelajar saat ini?
Jawabannya, di pesantren ada penekanan amal. Shalat berjama'ah, dzikir bersama, gotong-royong merenovasi pesantren, dan lain-lain. Ada kesatuan antara ilmu dan amal. Ini kekhasan pesantren. Dan ini dicontohkan oleh Sufi besar Syekh Abdul Qodir Jailani qs.
Syekh Abdul Qodir, kata Asy-Sya'rani menguasai 13 fan keilmuan dalam Islam. Imam Ibnu Taimiyah yang dikesani banyak orang sebagai anti tarekat, tawasul dan ziarah dalam karyanya, Majmu' Fatawa juz x menyatakan,"Syekh Abdul Qodir Jailani dan semisalnya merupakan syekh terbesar di zamannya dalam hal berpegang teguh pada syari'at, amar ma'ruf nahi munkar, mendahulukan syari'at daripada rasa dan logika, serta termasuk syekh terbesar yang melakukan pendidikan ruhani untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu yang berlebihan."
Kekaguman Ibnu Taimiyah terhadap Syekh Abdul Qodir begitu besar sehingga berkenan membuat syarah/ penjelasan terhadap salah satu karyanya, yaitu Futuh Al-Ghaib. Syarah tersebut antara lain diterbitkan Dar Al-Qori, Beirut, tahun 1995.
Pengajian rutin Syekh Abdul Qodir Jailani dihadiri 70.000 orang. Beliau mengajarkan tafsir Al-Qur'an (Tafsir Al-Jailani lengkap 30 juz telah ditemukan dan diterbitkan, bahkan sebagiannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), hadits, perbedaan madzhab fikih, nahwu, Sharaf dan balaghah. Ia juga kadang mengajarkan qira'at Al-Qur'an berikut tafsirnya. Beliau berceramah selama 40 tahun, dari 521 H - 561 H.
Kebesaran majelis Syekh Abdul Qodir begitu mempesona, sehingga menurut Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Ghibthah An-Nadir seperti dikutip dalam disertasi Ajid Thohir, ada sekitar 400 orang penulis, yang mencatat secara rapi apa-apa yang difatwakan dan didakwahkannya.
Di sisi lain, amalan dzikir Syekh Abdul Qodir Jailani begitu dahsyat. Seperti disebutkan dalam manakib, Pembantunya bercerita, bahwa Syekh selalu melakukan shalat shubuh dengan wudhu shalat isya. Setiap kali batal, beliau berwudhu, shalat syukur wudhu dan masuk kamar kholwatnya. Beliau keluar menjelang shubuh. Khalifah yang ingin bertemu pada malam hari pun terpaksa menunggu dan baru bisa bertemu Beliau setelah shalat shubuh.
Ruhaninya yang diasah dengan ibadah dan dzikir panjang semalaman bercahaya terang. Tak perlu heran bila majelis pengajian nyapun tidak pernah sepi dari orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam dengan sukarela. Juga para perampok, pembunuh, pelaku maksiat dan orang-orang tersesat yang bertobat. Keikhlasan ditambah cahaya dzikir, dan kedekatannya dengan Maha Pemberi petunjuk membuat dakwahnya seperti sorotan cahaya yang menerangi gelap.
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani di samping sibuk menyebarkan ilmu dengan lisan dan melakukan ibadah dan dzikir, juga menyempatkan diri menulis buku. Karya-karyanya berbobot dan sebagiannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalkan, Al-Ghunyah, Fathur Rabbani, Futuh Al-Ghaib, Sirrul Asrar, Tafsir Al-Jailani, dll.
Kini tugas kita sebagai generasi penerusnya ialah memadukan ilmu dan amal atau intelektualitas dan spiritualitas.
#Salam_KakaJenggoTT
Jawabannya, di pesantren ada penekanan amal. Shalat berjama'ah, dzikir bersama, gotong-royong merenovasi pesantren, dan lain-lain. Ada kesatuan antara ilmu dan amal. Ini kekhasan pesantren. Dan ini dicontohkan oleh Sufi besar Syekh Abdul Qodir Jailani qs.
Syekh Abdul Qodir, kata Asy-Sya'rani menguasai 13 fan keilmuan dalam Islam. Imam Ibnu Taimiyah yang dikesani banyak orang sebagai anti tarekat, tawasul dan ziarah dalam karyanya, Majmu' Fatawa juz x menyatakan,"Syekh Abdul Qodir Jailani dan semisalnya merupakan syekh terbesar di zamannya dalam hal berpegang teguh pada syari'at, amar ma'ruf nahi munkar, mendahulukan syari'at daripada rasa dan logika, serta termasuk syekh terbesar yang melakukan pendidikan ruhani untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu yang berlebihan."
Kekaguman Ibnu Taimiyah terhadap Syekh Abdul Qodir begitu besar sehingga berkenan membuat syarah/ penjelasan terhadap salah satu karyanya, yaitu Futuh Al-Ghaib. Syarah tersebut antara lain diterbitkan Dar Al-Qori, Beirut, tahun 1995.
Pengajian rutin Syekh Abdul Qodir Jailani dihadiri 70.000 orang. Beliau mengajarkan tafsir Al-Qur'an (Tafsir Al-Jailani lengkap 30 juz telah ditemukan dan diterbitkan, bahkan sebagiannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), hadits, perbedaan madzhab fikih, nahwu, Sharaf dan balaghah. Ia juga kadang mengajarkan qira'at Al-Qur'an berikut tafsirnya. Beliau berceramah selama 40 tahun, dari 521 H - 561 H.
Kebesaran majelis Syekh Abdul Qodir begitu mempesona, sehingga menurut Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Ghibthah An-Nadir seperti dikutip dalam disertasi Ajid Thohir, ada sekitar 400 orang penulis, yang mencatat secara rapi apa-apa yang difatwakan dan didakwahkannya.
Di sisi lain, amalan dzikir Syekh Abdul Qodir Jailani begitu dahsyat. Seperti disebutkan dalam manakib, Pembantunya bercerita, bahwa Syekh selalu melakukan shalat shubuh dengan wudhu shalat isya. Setiap kali batal, beliau berwudhu, shalat syukur wudhu dan masuk kamar kholwatnya. Beliau keluar menjelang shubuh. Khalifah yang ingin bertemu pada malam hari pun terpaksa menunggu dan baru bisa bertemu Beliau setelah shalat shubuh.
Ruhaninya yang diasah dengan ibadah dan dzikir panjang semalaman bercahaya terang. Tak perlu heran bila majelis pengajian nyapun tidak pernah sepi dari orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam dengan sukarela. Juga para perampok, pembunuh, pelaku maksiat dan orang-orang tersesat yang bertobat. Keikhlasan ditambah cahaya dzikir, dan kedekatannya dengan Maha Pemberi petunjuk membuat dakwahnya seperti sorotan cahaya yang menerangi gelap.
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani di samping sibuk menyebarkan ilmu dengan lisan dan melakukan ibadah dan dzikir, juga menyempatkan diri menulis buku. Karya-karyanya berbobot dan sebagiannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalkan, Al-Ghunyah, Fathur Rabbani, Futuh Al-Ghaib, Sirrul Asrar, Tafsir Al-Jailani, dll.
Kini tugas kita sebagai generasi penerusnya ialah memadukan ilmu dan amal atau intelektualitas dan spiritualitas.
#Salam_KakaJenggoTT
Tidak ada komentar