Akang dan Amang dalam Tradisi Khas Pesantren Sunda
Buku yang banyak mengupas tuntas tradisi kepesantrenan secara utuh
dan detail karena dihasilkan dari proses penelitian -sejauh yang pernah
saya baca- adalah Tradisi Pondok Pesantren karya Zamakhsyari Dhofier serta Kyai dan Perubahan Sosial
karya Hiroko Horikoshi. Kedua buku tersebut telah dijadikan rujukan
oleh berbagai kalangan baik digunakan sebagai referensi penelitian
hingga menjadi buku rujukan dalam penelitian kepesantrenan.
Dhofier
menyoal hal-hal penting yang harus dimiliki oleh sebuah pesantren,
yaitu harus adanya ulama atau kiai dan santri, sementara Horikoshi
memaparkan peran kiai sebagai entitas utama sebuah pondok pesantren
dalam membangun masyarakat dan tradisi-tradisi baru di masyarakat
tersebut. Pesantren merupakan sebuah lembaga keagamaan yang dipandang
terpisah dari masyarakat namun dapat mewarnai masyarakat itu sendiri.
Sebagai pranata keagamaan dan pendidikan, tradisi-tradisi baru telah
dilahirkan melalui pondok pesantren. Sampai tahun 80-an kekuatan
pesantren di Sukabumi dapat menjadikan idiom baru bagi daerah ini,
Sukabumi merupakan kota santri.
Tidak hanya
itu, akulturasi antara tradisi pesantren dan kebudayaan atau tradisi
yang telah lama berkembang di masyarakat pun terus terjalin dan terjadi
hingga sekarang. Panggilan akang atau kang bagi kiai dari santri dan
masyarakat sekitar merupakan bentuk akulturasi itu. Kecuali itu, sesama
santri juga sering memanggil kepada teman satu pondok atau satu
kobongnya dengan sebutan amang atang mamang.
Di dalam tradisi Sunda, panggilan akang atau kang merupakan penuturan yang penuh sopan santun, tidak hanya diucapkan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua, orang yang lebih tua juga dapat menyebut akang atau kang kepada yang lebih muda. Dalam tradisi pesantren, sebutan akang atau kang kepada kyai merupakan bentuk penghormatan dari santri dan untuk kiai sendiri sebutan itu merupakan sikap rendah hati dirinya di hadapan masyarakat dan para santrinya.
Pengalaman
penulis saat mengikuti pengajian di kampung sendiri saat masih kecil
hampir seluruh masyarakat memanggil akang kepada Mualim Zakaria. Saat
itu dalam benak saya hanya terpikir mungkin saja panggilan akang itu
hanya merupakan panggilan dari orang yang lebih muda kepada kiai atau
muallim. Setelah saya tanyakan langsung kepada beberapa orang, ternyata
panggilan akang kepada kiai itu memang merupakan tradisi yang telah lama
terjadi di pondok pesantren dan panggilan akang itu bukan hanya kepada
yang lebih tua saja juga kepada para pengajar di pesantren atau
pengajian yang lebih muda.
Bagi para kiai
di berbagai pondok pesantren sebutan akang ini tentu saja telah
menjadikan diri mereka sebagai orang yang benar-benar telah membaur
dengan masyarakat. Para kiai sepuh yang memiliki kharisma merasa lebih
nyaman dipanggil akang daripada sebutan ustadz atau ulama karena begitu
berat sebutan itu disematkan kepada mereka yang telah kadung mengambil
sikap tawadlu dalam hidupnya.
Jika para santri
dan masyarakat memanggil akang kepada kiai, sementara itu sesama santri
sendiri telah biasa menggunakan panggilan amang atau mamang. Dalam
tradisi Sunda, amang atau mang sebelum kata ini mengalami perluasan
makna adalah sebutan untuk adik laki-laki dari ayah atau ibu (paman).
Sangat wajar jika sesama santri dan masyarakat menggunakan kata amang
ini mengingat panggilan ini disematkan kepada garis keturunan secara
horizontal atau tidak vertikal secara langsung. Seiring waktu berjalan,
panggilan amang ini mengalami perluasan makna, masyarakat akan memanggil
amang atau mang kepada pedagang apa saja.
Sejak
satu setengah dekade ini, panggilan akang kepada kiai dan amang kepada
sesama santri mulai memudar, kecuali masih berlangsung di
pesantren-pesantren salafiyah di beberapa tempat. Masyarakat dan santri
akan lebih nyaman memanggil ustadz, kiai, ulama, mama ajengan secara
harfiyah kepada guru ngaji dan pengasuh pondok pesantren. Kiai-kiai muda
hingga yang belum pernah mondok pun akan lebih suka dan menerima
dirinya dipanggil ustadz oleh masyarakat, tentu saja dengan penuh
kesadaran jika sebutan itu merupakan beban berat.
Tidak ada komentar